Rabu, 26 Desember 2012

MAKALAH EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Bahwasanya lingkungan berpengaruh pada terjadinya penyakit sudah sejak lama diperkirakan orang.
Dewasa ini berbagai masalah kesehatan yang timbul dalam masyarakat terutama disebabkan karena keadaan kesehatan lingkungan yang kurang atau tidak memenuhi syarat disamping factor perilaku hidup sehat yang belum memasyarakat.
Menurut Blum, factor lingkungan mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap kesehatan manusia dibandingkan dengan factor perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Lingkungan yang sehat diartikan sebagai lingkungan yang konduktif bagi terwujudnya keadaan sehat, yaitu lingkungan bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman sehat, perencanaan kawasan berwawasan lingkungan dan kehidupan mayarakat yang saling tolong menolong.
Berbagai penyakit yang timbul di masyarakat sebenarnya merupakan suatu indicator dari baik buruknya kondisi lingkungan, sebagai contoh yaitu: leptospirosis.
Untuk itu, makalah ini akan mebahas lebih jauh mengenai leptospirosis

B.   RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah yang dimaksud dengan Leptospirosis?
2.    Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis?
3.    Bagaimanakah tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit Leptospirosis?
4.    Bagaimanakah patofisiologi penyakit Leptospirosis?
5.    Bagaimanakah epidemiologi penyakit Leptospirosis?
6.    Bagaimanakah penanganan penyakit Leptospirosis?

C.   TUJUAN PENULISAN
1.    Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Leptospirosis
2.    Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit Leptospirosis
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit Leptospirosis
4.    Untuk mengetahui patofisiologi penyakit Leptospirosis
5.    Untuk mengetahui epidemiologi penyakit Leptospirosis
6.    Untuk mengetahui penanganan penyakit Leptospirosis
                                                               BAB II
PEMBAHASAN
1.  DEFENISI
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang menginfeksi manusia dan hewan. Nama lain dari penyakit ini adalah swineherd’s, demam pesawah (rice-field fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgant, atau demam canicola. Ada juga yang menyebut demam Icterohemorrhage sehingga biasa juga disebut penyakit kuning non-virus.

2.ETIOLOGI
Bakteri Leptospira sebagai penyebab Leptospirosis berbentuk spiral termasuk ke dalam Ordo  pirochaetales dalam family Trepanometaceae. Lebih dari 170 serotipe leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok, seperti kait dari bakteri Leptospria menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung, karena ukurannya yang sangat kecil.
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya, karena itu Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water born deseasei). 
Menurut DHARMOJONO (2001) bakteri ini berbentuk benang  berplintiran (filament) yang ujungnya seperti kait, berukura panjang 6-20 mikrometer dan diameter 0,1-0,2 mikrometer. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis  Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang sumbunya.
 Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar selama kurang lebih satu bulan, tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira (WIDARSO  et al, 2005).
Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama leptospirosis karena bertindak sebagia inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. beberapa hewan lain yang juga merupakan sumber penularan leptospira memiliki potensi penularan ke manusia tidak sebesar tikus.
Leptospirosis tersebar baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Indonesia Leptospirosis ditemukan antara lain di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumtera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat

3.    TANDA DAN GEJALA
Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi, maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. penderita mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh. Menurut WIDARSO, gejala klinis dari  Leptospirosis pada manusia  bisa dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
3.1.Stadium pertama 
3.1.1  Demam, menggigil
3.1.2  Sakit kepala
3.1.3  Malaise dan Muntah
3.1.4  Konjungtivis serta kemerahan pada mata
3.1.5  Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
3.2.    Stadium kedua
3.2.1      Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
3.2.2      Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3.2.3      Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan terjadi meningitis
3.2.4      Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium ketiga
3.3.Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :
3.3.1.    Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian
3.3.2.    Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
3.3.3.    Pada hati,  jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
3.3.4.    Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd apat menyebabkan kematian mendadak
3.3.5.    Pada paru-paru,  hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri dada, respiratory distress dan cyanosis
3.3.6.    Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
3.3.7.    Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan kecacatan pada bayi.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis . Pada sapi,muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada babi, sering muncul gangguan reproduksi .
Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice sampai abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik; gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi muda. 
4.      PATOFISIOLOGI
4.1.  Pre Patogenesis
Infeksi oleh Leptospira umumnya didapat karena kontak kulit atau selaput lendir (mucous membrane) misalnya, konjuktiva (mata) karena kecipratan selaput lendir vagina atau lecet-lecet kulit dengan urin atau cemaran oleh keluaran urogenitalis lainnya atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri tersebut. Apabila hewan korban terinfeksi bakteri Leptospira ini, maka segeralah mikroorganisme ini merasuk ke dalam jaringan tubuh penderita.
4.2.  Patogenesis
Masuknya kuman Leptospirosis pada tubuh hospes melalui selaput lendir, luka-luka lecet maupun melalui kulit menjadi lebih lunak karena terkena air. Kemudian, kuman akan dibawa ke berbagai bagian tubuh dan memperbanyak diri terutama di dalam hati, ginjal, kelenjar mamae dan selaput otak. Kuman tersebut dapat ditemukan di dalam atau di luar sel-sel jaringan yang terkena. Pada beberapa tingkatan penyakit dapat ditemukan Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis   156fase leptospiremia, yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi.
4.3.  Pasca patogenesis
 Pada proses infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Leptospira hidup dengan baik didalam tubulus kontortus ginjal. Kemungkinan kuman tersebut akan dibebaskan melalui air kemih untuk jangka waktu yang lama. Kematian terjadi karena septimia, anemia hemolitika, kerusakan hati karena terjadinya uremia. keparahan penderita bervariasi tergantung pada umur serta servoar leptospira penyebab infeksi.
5.EPIDEMIOLOGI
5.1.  PERSON (ORANG)
5.1.1    Umur
Penyakit leptospirosis jarang terjadi pada bayi dan anak remaja karena kenyataannya mereka paling sedikit terpapar. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa diakibatkan pekerjaannya yang lebih banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
5.1.2  Jenis kelamin
Laki-laki memiliki resiko yang lebih besar untuk terinfeksi leptospirosis. Hal ini diakibatkan karena laki-laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit ini. Laki-laki memiliki risiko terkena leptospirosis sebesar 3,59 kali dibandingkan perempuan.
5.1.3  Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita leptospirosis waktu menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri leptospirosis.
Menurut Simanjuntak (2002) leptospirosis disebut juga penyakit pekerjaan, karena sering menyerang petani, pekerja pembersih selokan, pemburu bebek liar, para dokter hewan, pekerjaan rumah potong, pekerja perkebunan, dan para wisatawan pendaki gunung.
5.2.  PLACE (TEMPAT)
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun. Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut teori Faisal, bakteri leptospira mampu bertahan hidup lama pada air tergenang seperti di kolam renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di pertambangan dan pertanian/perkebunan.
5.3.  TIME (WAKTU)
Pada musim penghujan, peluang terjadinya banjir akan lebih besar sehingga frekuensi penyakit leptospirosis tidak sulit untuk ditemukan. Hujan deras akan membantu penyebaran peyakit ini. Karena kondisi lingkungan yang banjir akan mempercepat proses penularan bakteri leptospira melalui air. Kemampuan leptospira untuk bergerak dengan cepat dalam air menjadi salah satu factor penentu utama ia dapat menginfeksi induk semang (host) yang baru.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini sesuai pendapat Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah penderita leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai 3 hari atau lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis membersihkan sisa-sisa banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air genangan tersebut telah tercemar air kencing binatang terutama tikus yang mengandung bakteri leptospira yang merupakan sumber penularan.

6.  PENANGANAN
6.1.    PENGOBATAN
Cara  mengobati penderita Leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
     Pemberian suntikan  Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi  jaundice dengan dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
     Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan  procaine penicillin dengan jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit secara i.m, separuh dosis dapat Diberikan selama 5-6 hari. Procaine penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari setelah terjadi albuminuria
     Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain yaitu  etracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam, kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 hari. Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.

Terapi dengan antibiotika (streptomisin,khlortetrasiklin, atau oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya berhasil. Pemberian  (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil.  Pemberian oksitetrasiklin dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak  babi penderita Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu 86%. Pemberian per-oral dengan mencampurkan  oksitetrasiklin dengan dosis 500-1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-turut dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit  pada ternak babi 94%.

6.2.PENCEGAHAN LEPTOSPIROSIS

Menurut WIDARSO  pencegahan Leptospirosis dapat dilakukan dengan cara:
     Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit, berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis
     Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
     Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat membantu dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
     Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan sarung tangan
     Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan vaskin strain lokal
     Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan tersebut
     Pengamatan terhadap hewan  rodent yang ada disekitar penduduk, terutama di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa terhadap kuman Leptospirosis
     Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir
     Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain
BAB III
PENUTUP

·      SIMPULAN
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira yang patogen . Penyakit ini merupakan zoonosis, tersebar luas di seluruh dunia terutama di daerah tropis termasuk Indonesia . Titik sentral pcnyebab leptospirosis adalah urin hewan terinfeksi Leptospira yang mencemari lingkungan . Gejala klinis penyakit ini sangat bervariasi dari ringan hingga berat bahkan dapat menyebabkan kematian penderitanya .
 Upaya mengisolasi dan mengidentifikasi Leptospira sangat memakan waktu . Diagnosis leptospirosis yang utama dilakukan secara serologis . Uji serologis merupakan uji standar untuk konfirmasi diagnosis, menentukan prevalensi dan studi epidemiologi . Vaksinasi pada hewan merupakan salah satu cara pengendalian leptospirosis .Pengembangan vaksin untuk hewan masih terus dilakukan di Indonesia untuk memperoleh vaksin multivalen yang efektif karena Leptospira terdiri dari banyak serovar ..
·      SARAN

Pencegahan/ pengendalian leptospirosis dapat dilakukan dengan cara memutus siklus penularan melalui pengobatan dan vaksinasi bagi ternak atau hewan kesayangan ; mengurangi populasi tikus dan meningkatkan sanitasi lingkungan . Dalam upaya pencegahan leptospirosis pada manusia memerlukan aktivitas terintegrasi antara dokter hewan dan dokter, dan peningkatan pengetahuan serta pemahaman masyarakat tentang bahaya leptospirosis . Penggunaan vaksin yang sesuai dikombinasikan dengan perbaikan sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian leptospirosis pada hewan di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA

id.wikipedia.org/wiki/Leptospirosis
Dr Widodo Judarwanto SpA.(2006). Penyakit leptospirosis pada manusia http://indonesiaindonesia.com/f/13740-penyakit-leptospirosis-manusia/
Priyanto, A, (2006). Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis.dari http://eprints.undip.ac.id/6320/1/Agus_Priyanto.pdf.

Tidak ada komentar: