BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kehamilan merupakan suatu kejadian yang selalu
ditunggu-tunggu oleh pasangan suami-istri. Saat ini, pada umumnya seorang ibu
sudah mengerti bagaimana seharusnya ia lebih menjaga kondisi tubuh demi
kelancaran kehamilan dan perkembangan janin dalam kandungannya. Meskipun
demikian, hal-hal yang dapat mengganggu proses kehamilan masih saja tidak dapat
dihindari. Salah satunya adalah kematian janin dalam rahim.
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kematian janin
dalam rahim. Di Negara maju dengan sistem kesehatan yang telah mapan, kematian
akibat kelainnan congenital merupakan kasus yang menonjol, sedangkan dinegara
yang sedang berkembang ada banyak factor penyebab yang menonjol seperti
infeksi, asuhan antenatal yang tidak prima, status ekonomi yang rendah, dan
masih banyak lagi yang lainnya.(4)
Defenisi kematian janin menurut World Health Organization
(WHO) dan American College of Obtetricians and Gynecologists telah
merekomendasikan bahwa kematian janin adalah kematian pada usia kehamilan 22
minggu atau lebih dan berat janin 500 gram atau lebih. Sedangkan menurut WHO
Expert Committee on the Prevention of Perinatal Morbidity and Mortality ( 19709
) menganjurkan agar dalam perhitungan statistik yang dianamakan kematian janin
ialah kematian janin yang pada waktu lahir berat badannya di atas 1000 gram.(3)
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud dengan IUFD?
2.
Apakah penyebab terjadinya IUFD?
3.
Apakah sajakah factor yang mempengaruhi terjadinya IUFD?
4.
Bagaimanakah cara mendiagnosis IUFD?
5.
Apakah komplikasi yang dapat timbul dari IUFD?
6.
Apa sajakah pemeriksaan penunjang dari IUFD?
7.
Bagaimanakah penanganan IUFD?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian IUFD
2.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya IUFD
3.
Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi terjadinya IUFD
4.
Untuk mengetahui cara mendiagnosis IUFD
5.
Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan IUFD
6.
Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari IUFD
7.
Untuk mengetahui penanganan IUFD
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
Kematian janin
dalam kandungan adalah kematian janin ketika masing-masing berada dalam rahim
yang beratnya 500 gram dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih (Achadiat,
2004). (4)
Kematian janin
dalam kandungan adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna
dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta
bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak bernafas atau tidak menunjukkan
tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung, pulsasi tali pusat, atau
kontraksi otot (Monintja, 2005) Sedangkan menurut WHO, kematian janin adalah
kematian janin pada waktu lahir dengan berat badan <1000 gram.
Menurut
Wiknjosastro (2005) dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin dapat dibagi
dalam 4 golongan yaitu :
1.
Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu
penuh.
2.
Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28
minggu.
3.
Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28
minggu (late foetal death)
4.
Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada
ketiga golongan di atas.(5)
B.
ETIOLOGI
Lebih dari 50%
kasus, etiologi kematian janin dalam
kandungan tidak ditemukan atau belum
diketahui penyebabnya dengan pasti. Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam
kandungan, antara lain.
1.
Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.
2.
Preeklampsi dan eklampsia
3.
Penyakit-penyakit kelainan darah.
4.
Penyakit infeksi dan penyakit menular
5.
Penyakit saluran kencing
6.
Penyakit endokrin: diabetes melitus
7.
Malnutrisi (1)
C.
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kematian Janin Dalam Kandungan:
1.
Faktor Ibu
a.
Umur
Bertambahnya usia ibu,
maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-organ tubuh terutama organ
reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal ini dapat mempengaruhi
kehamilan yang tidak secara langsung
dapat mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang baik
untuk seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Pada umur ibu yang
masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum cukup matang, hal ini
disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum (Wiknjosastro, 2005).
b.
Paritas
Paritas yang baik
adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap ancaman mortalitas dan morbiditas
baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang telah melahirkan lebih dari 5
kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam kehamilan seperti hipertensi,
plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat mengakibatkan kematian janin
(Saifuddin, 2002).
c.
Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil
menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh karena itu, setiap
wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama periode antenatal.
1)
Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan
1-3 bulan)
2)
Satu kali kunjungan selama
trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan).
3)
Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan
7-9 bulan).
Pemeriksaan
antenatal yang teratur dan sedini mungkin
pada seorang wanita hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang
mungkin terdapat pada ibu hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera.
Pemeriksaan
antenatal yang baik minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya
kematian janin dalam kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim, hal ini dapat
dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut jantung janin (Saifuddin,
2002).
d.
Penyulit / Penyakit
1)
Anemia
Hasil konsepsi
seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam jumlah besar untuk
pembuatan butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat besi.
Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia
dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan
sumsum tulang.
Selama masih
mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan
turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu
janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap
hasil konsepsi salah satunya adalah kematian janin dalam kandungan (Mochtar,
2004).
Menurut Manuaba
(2003), pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sahli, dapat digolongkan sebagai berikut :
a)
Normal : 11 gr%
b)
Anemia ringan : 9-10
gr%
c)
Anemia sedang : 7-8
gr%
d)
Anemia berat : <7
gr%.
2)
Pre-eklampsi dan eklampsi
Pada pre-eklampsi
terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan
retensi garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka
tekanan darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan dapat
dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin (Mochtar,
2004).
3)
Solusio plasenta
Solusio plasenta
adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas dari
perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya darah secara
tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka
terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi
nekrotis, spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun
pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya
hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah
ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian janin
(Wiknjosastro, 2005).
4)
Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes
melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-ciri kekurangan atau tidak
terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan
mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita
diabetes melarikan bayi yang besar (makrosomia). Makrosomia dapat terjadi
karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang menghasilkan lebih banyak
insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi. Glukosa berubah menjadi
lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan masalah
sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir (Stridje, 2000).
5)
Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah
rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen rhesus akan membuat
penerima darah membentuk antibodi antirhesus.
Jika transfusi darah rhesus positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel
pada sel darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini
disebut rhesus iso-imunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal
kehamilan, tetapi perlahan- lahan sesuai
perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu dengan
sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga pecah melepaskan
zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan sebagian dieklaurkan ke
kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah merah yang hancur
maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
6)
Infeksi dalam
kehamilan
Kehamilan tidak
mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun keparahan setiap
infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi mempunyai efek
langsung dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul karena
mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada kemampuan
organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin, sehingga dapat
mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn, 2001).
7)
Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini
merupakan penyebab terbesar persalinan prematur
dan kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban
sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan.
Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur
kehamilan kurang dari 34 mninggu,
kejadiannya sekitar 4%.
Ketuban pecah dini
menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya
infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi
pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan
infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim,
persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan
kematian ibu dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
8)
Letak lintang
Letak lintang
adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan kepala pada
sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak lintang
dengan ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan
spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian
janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi
bahu dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan
terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen
bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin
lama makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat
mengakibatkan kematian janin (Wiknjosastro, 2005). (4)
2.
Faktor Janin
a.
Kelainan congenital
Kelainan kongenital
merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak kehidupan
hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting
terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan
kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah
bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Dilihat dari bentuk
morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk
malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara
anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal.
Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau pada
kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital malformitas,
susunan anatomik maupun bentuknya akan berubah.
Kelainan kongenital
dapat dikenali melalui pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan
darah janin (Kadri, 2005).
b.
Infeksi intranatal
Infeksi melalui
cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari vagina naik
dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah dini
mempunyai peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi dapat pula terjadi
walaupun ketuban masih utuh, misalnya
pada partus lama dan seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena
infeksi karena menginhalasi likuor yang
septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman yang
memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi intranatal
dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat
dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush
(Monintja, 2006).
c.
Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat
penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion, sehingga
pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat
mempunyai panjang sekitar 55 cm.
Tali pusat yang
terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan pada leher, sehingga mengganggu
aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam
kandungan.
1)
Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat
pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan
insersi velamentosa. Bahaya insersi velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu
pembuluh darahnya melintasi kanalis servikalis, sehingga saat ketuban pecah
pembuluh darah yang berasal dari janin ikut pecah. Kematian janin akibat
pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila pembukaan masih kecil
karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu (Wiknjosastro, 2005).
2)
Simpul tali pusat
Pernah ditemui
kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran pembuluh darah
umblikalis, karena selei Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah
tersebut menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin
dalam rahim. Gerakan janin yang begitu aktif
dapat menimbulkan simpul sejati sering juga dijumpai (Manuaba,
2002).
3)
Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam
rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar kemungkinan dapat terjadi
lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya, apalagi bila
terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang berbahaya karena dapat
menyebabkan tali pusat menumbung, atau
tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin ke
dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari
janin sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro,
2005). (5)
D.
DIAGNOSIS
1.
Anamnesis
a.
Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan
janin sangat berkurang.
b.
Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan
bertambah kecil atau kehamilan tidak seperti biasa.
c.
Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras
dan
merasa sakit-sakit seperti mau
melahirkan.
2.
Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat
terlihat terutama pada ibu yang kurus.
3.
Palpasi
a.
Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan,
tidak teraba gerakan-gerakan janin.
b.
Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi
pada
tulang kepala janin.
4.
Auskultasi
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar
denyut jantung janin (DJJ)
5.
Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin
mati dalam kandungan. (1)
E.
KOMPLIKASI
1. Trauma emosional yangg cukup berat
terjadi bila waktu antara kematia janin & persalinan cukup lama
2. Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah
3. Dapat terjadi koagulasi bila kematian janin
berlangsung lebih
dari 2 minggu.
4.
Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak membahayakan
ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah
(hipofibrinogenemia) akan lebih besar. Kematian janin akan menyebabkan desidua
plasenta menjadi rusak menghasilkan tromboplastin masuk kedalam peredaran darah
ibu, pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh
trombosit terjadilah pembekuan darah yang meluas menjadi Disseminated
intravascular coagulation hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100
mg%).
Kadar normal fibrinogen
pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat
terjadi hemoragik postpartum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah
janin mati. (2)
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1.
Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan
janin, seringkali tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang
tengkorak sering dijumpai overlapping cairan ketuban berkurang.
a) Rontgen foto
abdomen
b) Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya
tulang tengkorak yang saling tumpang tindih
(overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi
setelah bayi meninggal beberapa hari dalam kandungan.
c) Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang
janin yang saling melenting (hiperpleksi).
d) Tampak gambaran gas
pada jantung dan pembuluh darah.
e) Tampak udema di
sekitar tulang kepala(3)
2.
Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen (Achadiat
2004). (5)
G.
PENANGANAN KEMATIAN
JANIN DALAM KANDUNGAN
1.
Terapi
a. Selama menunggu diagnosa pasti, ibu
akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal.
Pada tahap ini bidan
berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam
menerima segala kemungkinan yang ada.
b. Diagnosa pasti dapat ditegakkan
dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan
melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan
seharusnya melakukan rujukan.
c. Menunggu persalinan
spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996)
memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah
diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu
lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan
dengan gejala kecemasan. Maka sering dilakukan terminasi kehamilan.
a) Persiapan:
(1) Keadaan memungkinkan yaitu Hb >
10 gr%, tekanan darah baik.
(2) Dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu:pemeriksaan
trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan waktu protombin.
b) Tindakan:
(1) Kuretasi vakum
(2) Kuretase tajam
(3) Dilatasi dan kuretasi tajam
a) Misoprostol 200mg intravaginal, yang
dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
b) Pemasangan batang laminaria 12 jam
sebelumnya.
c) Kombinasi pematangan batang
laminaria dengan misoprostol atau pemberian tetes oksitosin 10 IU dalam 500 cc
dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
Catatan: dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.
Catatan: dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.
a) Misoprostol 100 mg intravaginal,
yang dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
b) Pemasangan batang laminaria selama
12 jam.
c) Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam
dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
d) Kombinasi cara pertama dan ketiga
untuk janin hidup maupun janin mati.
e) Kombinasi cara kedua dan ketiga
untuk janin mati.
Catatan:
dilakukakan histerotomi bila upaya melairkan pervaginam dianggap tidak berhasil
atau atas indikasi ibu, dengan sepengetahuan konsulen.
a) Misoprostol 50 mg intravaginal, yang
dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
b) Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam
sebelum induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada
KPD).
c) Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam
dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan
multigravida, 40 tetes untuk grande multigravida sebanyak 2 labu.
d) Kombinasi ketiga cara diatas.
Catatan:
dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila
didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan.
2. Periksa
Ulangan (Follow Up)
Dilakukan
kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari. Dilakukan pemeriksaan nifas
seperti biasa. Mengkaji ulang tentang keadaan psikologis, keadaan laktasi
(penghentian ASI), dan penggunaan alat kontrasepsi.
BAB III
PENUTUP
·
SIMPULAN
Intra
Uterin Fetal Death (IUFD), yakni kematian yang terjadi saat usia kehamilan
lebih dari 20 minggu atau pada trimester kedua dan atau yang beratnya 500 gram.
pendapat lain yang mengatakan kematian janin dalam kehamilan adalah kematian
janin dalam kehamilan sebelum proses persalinan berlangsung pada usia kehamilan
28 minggu ke atas atau berat janin 1000 gram ke atas. Adapun beberapa factor
penyebab terjadinya IUFD adalah factor dari ibu yaitu : umur, paritas, dan
penyakit penyerta selama kehamilan, sedangkan dari janin yaitu: kelainan
congenital dan infeksi intranatal, serta dari plasenta. Penanganan kematian
janin dalam kandungan terdapat 2 macam yaitu : penanganan aktif serta
penanganan pasif. (3)
·
SARAN
Sebenarnya faktor resiko dan komplikasi IUFD
dapat dicegah apabila ibu hamil secara rutin memeriksakan kehamilannya pada
dokter ataupun ketempat pelayanan kesehatan lain, sehingga apabila ditemukan
komplikasi kehamilan dapat ditangani sejak dini dan diharapkan dapat mencegah
terjadinya IUFD.
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang
sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak
bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan
ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gamelli dengan T+T (twin
to twin transfusion) pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh
anastomosis (Sarwono, 2008). (1)
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin, Abdul Bari. 2009. IlmuKebidanan.
Jakarta: PT BinaPustakaSarwonoPrawirohardjo (1)
Cunningham,
F. Gary [et.al..]. 2005. Obstetri Williams. Jakarta : EGC (2)
Dr.Rosfanty. Jurnal
intra uterine fetal death. (4)
Masruroh, S.ST.
Jurnal intra uterine fetal death. (5)